Sabtu, 26 Januari 2013

Laporan Kuliah Kerja Lapangan Yogyakarta


LAPORAN KEGIATAN
ORIENTASI BUDAYA KE  YOGYAKARTA






1.               Dewi Wahyuni            NPM 09410155
2.               Endhi Pujiana              NPM 09410160
3.               Fitri Asmawati            NPM 09410162
4.               Ima Dewi M.               NPM 09410166
5.               Istikomah                    NPM 09410167







PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2011

PERSETUJUAN

·                     LAPORAN ORIENTASI BUDAYA telah disetujui pada tanggal













·         Menyetujui                                                                 
·         Ketua jurusan                                                                          DPL,



Drs. Harjito, M.Hum                                                   Dra. Sri Ambarini A. , M.Hum                      


















DAFTAR ISI




Halaman Judul
Halaman Persetujuan
Daftar Isi
Kata Pengantar
Isi
a.       Latar Belakang
b.      Tujuan Orientasi Budaya
c.       Laporan Kunjungan Orientasi Budaya
Penutup
a.       Simpulan
b.      Saran
Lampiran


















KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan mengenai KKL di Yogyakarta dengan baik. Shalawat serta salam tak luput pula kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya di zaumul akhir.
Adapun tujuan pembuatan laporan tersebut yakni untuk memenuhi tugas wajib mata kuliah orientasi budaya yang berjumlah 2 sks dan sekaligus sebagai mahasiswa IKIP PGRI Semarang tahun 2011.
Penyelesaian laporan ini membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Tanpa dukungan dari berbagai pihak, laporan KKL ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada:
1.      Drs. Harjito, M.Hum selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
2.      Dra. Sri Ambarini A., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Lapangan,
3.      Teman-teman mahasiswa IKIP PGRI Semarang yang telah membantu menyelesaikan pembuatan laporan dengan baik,
4.      Pihak-pihak pengadaan sarana dan prasarana serta pembantu pelaksanaan KKL Mahasiswa IKIP PGRI Semarang tahun 2011 di lapangan.
Seperti peribahasa “ Tak ada gading yang tak retak” maka dari itu kritik serta saran kami butuhkan untuk menyempurnakan laporan KKL yang telah kami susun.
Semoga laporan KKL ke Yogyakarta dapat memenuhi tugas wajib kami mata kuliah Orientasi Budaya dengan sempurna dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Selain itu juga dapat menambah pengetahuan bagi pembaca, serta dapat dijadikan acuan pembaca dalam pembuatan laporan pada tahun berikutnya.
Semarang, 4 Mei 2011



Penulis

ISI


a.      Latar Belakang


Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang penting di sekolah. Mata pelajaran tersebut memiliki materi pokok bahasa indonesia dan sastra indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salaha satu bahasa yang penting di dunia pendidikan. Semua komunikasi di sekolah menggunakan bahasa indonesia. Hal ini karena bahasa indonesia sebagai pengantar dalam dunia pendidikan. Sastra indonesia juga tak kalah pentingnya dengan materi bahasa indonesia. Sastra digunakan untuk mengekspresikan diri, memperoleh pengalaman, dan menghubungkan imajinasi dunia nyata. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Indonesia merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi guru bahasa dan sastra indonesia.
Orientasi Budaya merupakan kegiatan intrakurikuler yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa program sarjana ( S1). Orientasi budaya  sebagai suatu kegiatan perkuliahan dan kerja lapangan yang merupakan pengintegrasian pengetahuan teoritis yang diperoleh dari kampus dengan pengalaman di lapangan. Orientasi Budaya termasuk ke dalam kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat ( MBB), yaitu kelopmpok bahan kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk memahami kaidah kehidupan bermasyarakat.
Diharapkan dengan adanya mata kuliah Orientasi Budaya, mahasiswa IKIP PGRI Semarang mampu menerapkan ilmu yang telah mereka dapatkan saat perkuliahan, mampu menghubungkan atau mengkorelasikan sesuai dengan konteksnya, serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam bersosial dengan masyarakat. Sebagai calon guru dituntut untuk mampu beradaptasi dan bersosial dengan masyarakat luas karena tugas utamanya yakni menyalurkan ilmu yang telah mereka miliki.




b.      Tujuan Orientasi Budaya

Sesuatu yang kami lakukan pastinya mempunyai tujuan. Dengan tujuan itulah apa yang kita lakukan dapat terarah dan terfokus. Maka dari itu tujuan dari Orientasi Budaya adalah sebagai berikut:
1.      Mahasiswa mengenal objek-objek yang berkaitan dengan bidang seni, bahasa, dan budaya,
2.      Mahasiswa dapat menambah pengetahuan mengenai bahasa indonesia dan budaya dengan melakukan tukar wawasan dengan narasumber dari berbagai golongan dan budaya,
3.      Mahasiswa mampu mengaplikasikan semua materi yang diperoleh saat perkuliahan dengan praktik di lapangan,
4.      Dapat menjadi guru yang memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.



c.       Laporan Kunjungan Orientasi Budaya

1.      Keraton Surakarta Hadiningrat

Kunjungan OB yang pertama yakni Keraton Surakarta, tiba di lokasi pukul 09.30 kemudian rombongan melanjutkan perjalanan dengan berlajan kaki kurang lebih 500 meter menuju pintu depan keraton.
Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.

Kemegahan Arsitektural

Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.

Kompleks Alun-alun Lor/Utara

Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk ( terlampir).

Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor/Utara

Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil.
Sitihinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat.
Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang). ( terlampir).

Kompleks Kemandungan Lor/Utara


Kori Kamandungan dilihat dari arah halaman Kemandungan Lor dengan Bale Roto didepannya dan Panggung Sangga Buwana yang menjulang tinggi sebagai latar belakang.
Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti.

Kompleks Sri Manganti

Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.

Kompleks Kedhaton

Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
 Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula seorang raja bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di Sitihinggil utara.
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.
Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.

Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan)

Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

Warisan Budaya (Cultural Heritage)

Para tamu agung pada perhelatan ke empat Pisowanan Agung Tingalan Dalem Jumenengan SISKS. Pako Boewono XIII
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.

Garebeg

Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.

Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

Kirab Mubeng Beteng utawa Malam Satu Suro

Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.

Pusaka (heirloom) dan tari-tarian sakral

Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara Sekaten. Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat pemahkotaan raja.

Pemangku Adat Jawa Surakarta

Semula keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah Kesunanan Surakarta dinyatakan hapus oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak lebih sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Susuhunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dala artian politik melainkan sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Kesunanan Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem) keraton.

Perebutan tahta Kasunanan Surakata

Sepeninggal Sri Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 2004, terjadi perebutan takhta antara Pangeran Hangabehi (putra pertama) dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII. hangabehi merasa memiliki legitimasi atas takhta karena ia adalah putra lelaki pertama, sementara Tejowulan berargumen bahwa Pakubuwana XII telah menyatakan secara tertulis bahwa Tejowulanlah yang akan menggantikannya. Konflik ini belum berakhir dan berada pada status quo.
Perebutan kekeuasaan yang tak kunjung selesai ini awalnya cukup membuat bingung masyarakat soloraya, namun seiring dengan perjalanan waktu seakan ada pemakluman dari masyarakat bahwa ini adalah wajar dalam sebuah perebutan kekuasaan. sampai saat ini kedua raja tetap menjalankan fungsi yang kurang lebih sama seperti penyelenggaraan tingalan jumenengan. yang membedakan adalah sinuwun hangabehi menyelenggarakan di dalam keraton dan sinuwun tedjowulan menyelenggarakan di ndalem wuryaningratan. hal lain yang sama adalah kedua raja juga memberikan gelar gelar kepada kawula dan para tokoh seperti Sutiyoso oleh Sinuwun Tdejowulan dan Manohara oleh Sinuwun Hangabehi.

 

Filosofi dan Mitologi seputar Keraton

Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan ditunjukkan dalam paragraf berikut.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga Marcukundho melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.
Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6 maka dua ratus tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar dihapus dan kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas kerabat dekatnya saja.
Keraton Surakarta : Perpaduan Kemegahan Eropa dan Keunikan Jawa.
Keraton Surakarta (Solo) atau disebut sebagai Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan keraton dengan gaya dan arsitektur yang sangat unik. Keraton ini tertelak di kota Surakarta biasa disebut dengan nama Solo yang berada di Propinsi Jawa Tengah. Keraton Solo merupakan perpaduan yang khas antara gaya eropa dan etnik Jawa dalam setiap sudut dan tata ruang Keraton. Secara sejarah Keraton Solo di bangun oleh Pakubuwono II sekitar tahun 1744. Berbicara tentang Keraton, tak lepas dari sejarah kerajaan-kerajaan islam yang penah berjaya di tanah jawa. Ketika Kerajaan Islam Pajang mulai memperlihatkan titik surut, maka mulailah berdiri kerajaan mataram yang didirikan oleh Sultan Ageng Hanyokrokusumo. Dalam beberapa dekade, kerajaan ini sangat kuat dan jaya, namun akhir kerajaan Mataram Islam tidaklah semanis masa jayanya.
Kerajaan Mataram Islam harus terpecah menjadi dua bagian barat dan timur pada tahun 1755 dengan sebuah perjanjian yang disebut perjanjian Giyanti. Dalam kesepakatan tersebut membagi Mataram Islam menjadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berada di sebelah barat kali Opak Prambanan dan Keraton Surakarta Hadiningrat yang berada di sebelah timurnya. Untuk sisi sebelah barat telah dikupas ditulisan sebelumnya dan sekarang lebih mengenal tentang Keraton Solo yang merupakan perpaduan antara kemegahan Eropa dan Kenunikan etnik Jawa yang mempesona.
Keraton Surakarta atau Solo terletak di selatan Jawa Tengah, Berada di koordinat 7° 34′ 0″ LS, 110° 49′ 0″ BT. Surakarta sendiri berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Apabila Petualang hendak menuju ke Keraton Solo ini, sangat mudah terjangkau dari berbagai penjuru. Bisa dari sisi barat dimulai dari JogjakartaKlaten – Kartosuro (Pertigaan Tugu ke kanan) – Silakan lurus menuju Patung Slamet Riyadi (Beteng Vasdenburg ke kanan) – Alun alaun – Keraton. Apabila dari Semarang bisa melalui rute UngaranBawen – Salatiga – Boyolali – Kartosuro (Pertigaan Tugu lurus) – Patung Slamet Riyadi – Keraton.
Perjalanan dari Jogjakarta hanya sekitar 1.5jam dengan track normal, atau dari Semarang hanya sekitar 2 jam dengan kondisi lalu lintas yang tidak macet. Setelah melewati patung Slamet Riyadi, Petualang akan menuju ke arah alun-alun dengan jalanan yang sangat sejuk karena jalanan ditumbuhi oleh pohon beringin yang sangat besar. Untuk alun-alun sendiri memang tidak bisa masuk bebas leluasa seperti alun-alun yang ada di keraton Jogja, karena alun-alun solo tersebut diberi pagar melingkar disemua sisinya. Namun petualang bisa masuk dari beberapa pagar yang ada di empat sisi alun-alunnya.
Setelah melewati alun-alun silakan untuk menuju istana yang sangat megah, Petualang disarankan untuk pelan berkendara karena pintu gerbang Keraton Solo ini memang agak tidak mudah ditemukan. Petualang silakan menuju pintu gerbang utara (Kori Wijil) karena gerbang inilah yang memang disediakan untuk pengunjung yang hendak memasuki Keraton Surakarta. Pemandangan pertama kali yang akan ditemui oleh Petualang adalah bagunan pintu gerbang yang berwarna biru (Kori Brajanala atau Kori Gapit) dan menara tinggi yang sangat unik (Panggung Sangga Buwana). Petualang bisa membeli tiket didepan pintu tersebut dan parkir disekitar area didepannya. Atau berbelok ke kiri mengikuti jalan sekitar 100 meter lalu berbelok ke kanan, maka akan Petualang temukan pintu masuk yang lain.
Apabila membeli tiket dari pintu gerbang utara memang bisa mengabadikan beberapa landscape yang sangat terkenal tersebut, yaitu pintu berwarna biru (Kori Kamandungan) dan menara yang berdiri megah. Apabila dari pintu yang satunya, maka akan didapati pemandangan yang serba biru di dinding namun hijau lumut dilantainya. Untuk harga tiket masuk Keraton Surakarta atau Solo cukup terjangkau, hanya sekitar Rp. 10.000,- untuk Petualang umum. Bagi Petualang yang ikut rombongan atau pelajar sekolah, harga tiket bisa lebih murah. Namun bila Petualang merupakan foreigner tiket masuk Keraton Surakarta hanya Rp. 12.500,-. Itu belum termasuk biaya parkir sebesar Rp. 2.000,-. Apabila Petualang membawa Kamera, maka ditambah biaya sebesar Rp. 3.500,-. Hmm, cukup terjangkau dan murah bukan?
Beberapa buah tangan juga disediakan oleh Keraton sebagai kenangan kalau pernah berkunjung ke Keraton Surakarta. Letaknya persis didepan pembelian tiket digerbang sebelah timur.
Petualang akan memasuki dua tempat di Keraton Surakarta, bagunan tersbut bernama Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Bagunan ini sangat unik dan menyimpan berbagai hasil kebudayaan orang jawa dimasa dulu. Petualang bisa menuju ke taman yang berada disebelah belakang pintu masuk. Tips : Silakan Petualang memakai sepatu, karena pihak Keraton Solo tidak memperbolehkan Petualang berjalan di area taman dengan memakai sandal, topi, kacamata dan celana pendek. Bagaimana jika tidak memakai sepatu? Nah, silakan Petualang untuk berjalan tanpa alas kaki (nyeker) dengan menitipkan sepatu ke Abdi Dalem Keraton. Keraton Solo juga menyediakan kain batik jarik apabila Petualang memakai celana pendek.
Di dalam taman ini terdapat bangunan seperti kedhaton yang panjang juga unik, dengan bebatuan marmer yang sangat megah. Dibuat memanjang dihiasi dengan ornamen ala jawa di pilar penyangganya dan atap bangunan yang mengkerucut mirip seperti rumah joglo jawa tengah. Tanah di taman ini bukan tanah pada umumnya, namun merupakan pasir yang berasal dari pantai laut selatan. Jadi, Petualang yang berjalan tanpa alas kakipun nyaman ketika memutari seluruh area taman. Selain lantai yang berpasir, taman ini juga terdapat tanaman sawo kecik yang tertata rapi berjajar berjumlah 76 pohon. Didepan kedhaton panjang tersebut terdapat bangunan pendopo yang megah dan mewah.  Pendopo yang bernama Sasana Sewaka tersebut dihiasi berbagai macam patung dengan gaya yunani atau eropa kuno. Patung bergaya eropa tersebut tepat berada didepan pendopo yang berjumlah lebih dari 6 buah. Memang sangat unik, keraton dengan gaya arsitektur etnik jawa dengan beberapa hiasan patung model eropa.
Setelah menilik taman yang nyaman dan sejuk, Petualang bisa melanjutkan ke bangunan sebelahnya dekat dengan pintu masuk. Didalam bangunan tersebut terdapat beberapa karya dan budaya warisan kerajaan jaman dulu. Mulai dari era hindu-budha hingga kerajaan Islam. Hampir mirip dengan Keraton Jogja yang menyimpan berbagai pusaka dan hasil budaya Jawa. Terdapat juga sisilah dinasti Mataram dari Ki Ageng Pemahanan hingga Pakubuwana IX. Beberapa artefak dan patung peninggalan kerajaan jamam dulu juga terdapat dibangunan tersebut, seperti batu candi, patung dewa, dan peninggalan yang laain.
Beberapa warisan budaya seperti gong beri, aneka dolanan jawa, patung raja duduk di singasana, berbagai macam andong (dokar / delman) yang menjadi alat transportasi raja jaman dulu kala. Juga beberapa sample peralatan yang digunakan oleh orang-orang jawa seperti gejog lesung, bokor tempat menanak nasi yang berukuran besar. Kalau di Keraton Jogja ada lukisan yang unik dan mistis, maka di solopun juga terdapat lukisan tersebut. Ketika Petualang melihat bagian lukisan tersebut, seolah-olah bagian dari gambar lukisan tersebut mengikuti ke arah kemana Petualang melihatnya. Karya yang luar biasa.
Diluar bagunan juga terdapat kayu jati wungu yang merupakan potongan kayu peninggalan sunan, jati ini hampir mirip dengan jati yang terdapat di Masjid Agung Demak atau Masjid Sekayu yang ada di kota Semarang. Selain itu, terdapat sumur tua yang airnya sangat jernih, beberapa Petualang memanfaatkan untuk berwudhu dan memcuci muka. Silakan untuk minta air tersebut kepada abdi dalem keraton solo, dengan memberi infak sekedarnya. Mirip di Keraton Jogja dimana ketika Petualang masuk ke area batik di keraton Jogja, maka akan ditemui sebuah sumur tua yang digunakan untuk perawatan kuda, namun tidak bisa merasakan segarnya sumur tua tersebut. Keraton Surakarta memang menyimpan keunikan tersendiri. Walaupun hanya sekilas dan kecil, namun mengagumkan untuk datang dan melihat perpaduan yang unik dari dua budaya yang berbeda.
Bangunan bersejarah itu berdiri megah di tepi lapangan Alun-Alun Utara kota Solo. Disebelahnya berdiri pusat ekonomi Pasar Klewer, berdampingan dengannya adalah Masjid Agung Surakarta. Ketiganya menghadap tanah lapang yang luas. Simbol kebesaran kerajaan Mataram Islam.
Mataram Islam? Iya, sepeninggal Sultan Agung Hanyakrakusuma, pergolakan terjadi pada tubuh pemerintahan kerajaan Mataram. Adalah sebuah perjanjian bernama Perjanjian Giyanti yang memecah kerajaan ini menjadi Kraton Surakarta Hadiningrat dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Sunan Pakubuwana (karena itu kraton ini disebut juga Kraton Kasunanan), sedangkan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I.
Berikut laporannya :
Balairung utama. Saya membayangkan tempat ini pernah menjadi papan pasewakan agung, dimana Kanjeng Susuhunan Pakubuwana lenggah di dhampar kencana — singgasana istana –, sementara para bawahannya duduk bersimpuh sambil menghaturkan sembah baktinya. Sekarang, tempat ini berdebu dan tak terawat.
Singgasana Dhampar Kencana. Dari sinilah Susuhunan Paku Buwana memerintah pada masanya. Pengunjung tidak diperbolehkan naik panggung ini dan terlihat bahwa bagian ini sangat dihormati. Wangi asap kemenyan masih tercium bersama uba rampe sesajen yang disiapkan di situ.
Meriam Kiai Rancawara (Marijem Kijahi Rontjoworo). Berbahan perunggu dan sangat tua. Dulu mungkin meriam ini dihormati sama tingkatannya seperti seorang tumenggung, tetapi sekarang, moncongnya penuh sampah dan terlantar kehujanan kepanasan di depan kraton.
Jalanan kompleks kraton. Dipagari oleh tembok yang kokoh, khas arsitektur Jawa-Belanda. Jalanan ini dulunya mungkin adalah penghubung antara kompleks-kompleks kraton semacam kesatrian, keputren, balairung utama, dll.  Sekarang dipakai sebagai jalanan umum sebagai jalan tembus dari Jl. Slamet Riyadi langsung ke Pasar Klewer.
Dibandingkan dengan istana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang selalu ramai dikunjungi wisatawan dan begitu terawat, Kraton Surakarta seperti istana yang terlupakan dan terpinggirkan. Namun demikian, istana ini masih sedikit lebih baik kondisinya dibandingkan dengan istana lain yang ada di kota Solo ini: Kraton Mangkunegaran. Sayang sekali waktu saya di Solo sudah habis untuk mengunjunginya. Nanti kalau saya ke sana lagi, akan saya laporkan Mangkunegaran ini dalam bidikan lensa saya. Cherio!


2. Taman Pintar

            Kunjungan OB yang kedua yakni Taman yang membuat pengunjung pinter. Rombongan sampai Taman Pintar pukul 14.30. Taman yang di bangun di atas tanah seluas 12.000 meter persegi ini telah banyak mengalami renovasi dari pemerintahan Soekarno sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tempat wisata ini lebih sebagai tempatnya wisata pendidikan, terletak di kawasan pusat Kota Yogyakarta merupakan tempat rekreasi sains yang dapat memotivasi anak dan generasi muda untuk mencintai sains dan teknologi.

Ruang Lingkup
Disebut "Taman Pintar", karena di kawasan ini nantinya para siswa, mulai pra sekolah sampai sekolah menengah bisa dengan leluasa memperdalam pemahaman soal materi-materi pelajaran yang telah diterima di sekolah dan sekaligus berekreasi.
Dengan Target Pembangunan Taman Pintar adalah memperkenalkan science kepada siswa mulai dari dini, harapan lebih luas kreatifitas anak didik terus diasah, sehingga bangsa Indonesia tidak hanya menjadi sasaran eksploitasi pasar teknologi belaka, tetapi juga berusaha untuk dapat menciptakan teknologi sendiri.
Bangunan Taman Pintar ini dibangun di eks kawasan Shopping Center, dengan pertimbangan tetap adanya keterkaitan yang erat antara Taman Pintar dengan fungsi dan kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Taman Budaya, Benteng Vredeburg, Societiet Militer dan Gedung Agung.
Relokasi area mulai dilakukan pada tahun 2004, dilanjutkan dengan tahapan pembangunan Tahap I adalah Playground dan Gedung PAUD Barat serta PAUD Timur, yang diresmikan dalam  Soft Opening I tanggal 20 Mei 2006 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo.
Pembangunan Tahap II adalah Gedung Oval lantai I dan II serta Gedung Kotak lantai I, yang diresmikan dalam Soft Opening II tanggal 9 Juni 2007 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo dan Menristek, Kusmayanto Kadiman, serta dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pembangunan Tahap III adalah Gedung Kotak lantai II dan III, Tapak Presiden dan Gedung Memorabilia.
Dengan selesainya tahapan pembangunan, Grand Opening Taman Pintar dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2008 yang diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.


Taman Pintar sebagai wahana ekspresi, apresiasi dan kreasi sains dalam suasana yang menyenangkan bagi pengunjung. Taman Pintar menyuguhkan berbagai macam zona permainan sekaligus pembelajaran sains yang mencerdaskan dan menyenangkan. Tak hanya itu, Taman Pintar juga mengadakan berbagai macam program kegiatan yang diadakan tiap tahun seperti Kontes Robot Pintar Yogyakarta (KRPY) yang memperebutkan Piala dari Menristek, Science Tech Idol yang merangsang generasi muda untuk melakukan penelitian dan berinovasi tentang energi terbarukan, serta kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang diadakan tiap tahun dan diikuti oleh sekolah-sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan masih banyak lagi. Berbagai macam zona dapat kita temui di sini dengan harga yang sangat terjangkau, diantaranya yaitu zona PAUD yang diperuntukkan bagi anak-anak usia prasekolah hingga TK. Selain zona PAUD, terdapat juga Gedung Oval dan Kotak yang memiliki beragam alat peraga ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus pengenalan lingkungan bagi Anda dan keluarga, diantaranya yaitu aquarium air tawar, kehidupan prasejarah, sistem tata surya, zona bencana alam, zona teknologi telekomunikasi dan informasi. Terdapat berbagai macam zona di Gedung Kotak yaitu zona Teknologi pengolahan minyak dan gas bumi, zona Indonesiaku, zona Teknologi Pengolahan Susu, zona Teknologi otomotif roda dua, zona Agro yang baru saja diresmikan bulan Juni yang lalu, dan masih banyak lagi pengetahuan yang bisa Anda dapatkan di sini. Alat peraga yang ada di Taman Pintar ini dikemas sangat menarik dan interaktif untuk Anda dan keluarga.
Keluarga Anda juga dapat mempelajari sejarah tentang Kepresidenan, Kasultanan dan Tokoh Pendidikan di Gedung Memorabilia dan juga dapat menikmati berbagai permainan di Playground yang merupakan zona penyambutan dengan berbagai macam permainan seperti Air Menari yang sangat diminati oleh anak-anak, Rumah Pohon, Parabola Berbisik, Labirin, Dinding Berdendang, Spektrum Warna, Tapak Presiden, Gong Perdamaian, Rumah Batik di mana anak-anak dapat membuat pola batik yang mereka inginkan dan masih banyak lagi.
Untuk berkunjung ke Taman Pintar maka dapat kita jelajahi dari pusat perekonomian Yogyakarta, Jl. Malioboro, dengan transportasi melalui Jl. Panembahan Senopati. Adapun waktu yang tepat untuk menikmati liburan Anda dan keluarga di Taman Pintar, ialah setiap hari Selasa hingga Minggu dari pukul 09.00 sampai 16.00 WIB dengan harga yang sangat terjangkau. Anda juga dapat memberikan perhatian ekstra untuk putra-putri Anda melalui berbagai macam workshop dan kursus yang berada di mall kursus lantai 3 Gedung Kotak Taman Pintar, diantaranya yaitu Bimbingan Belajar, kursus dan pelatihan Bahasa Inggris, Workshop Multimedia hingga Workshop Robotik. Di lantai 3 ini Anda dan Keluarga juga dapat menyaksikan Teater 4 Dimensi yang sangat menarik.
“Taman Pintar Yogyakarta, wahana ilmu pengetahuan yang mencerdaskan dan menyenangkan.

3. MALIOBORO

Kunjungan OB yang ke-3 setelah Rumah Pintar adalah Malioboro. Rombongan sampai di malioboro kira-kira pukul 16.00 WIB. Malioboro memang menjadi kawasan legendaris dan menyimpan sejuta kenangan. Jalan Malioboro telah membentuk sebuah kawasan tempat berkumpulnya berbagai komunitas. Dari sekian banyak komunitas yang ada, hanya komunitas pedagang yang terus eksis hingga kini. Komunitas-komunitas yang lain, yang dulu memanfaatkan kawasan ini, seperti komunitas budayawan dan seniman akhirnya hanya kebagian ruang sempit, tergusur aktivitas perdagangan yang semakin lama semakin menguasai ruang di Malioboro. Jalan tersebut dibangun sejak Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono I, dilengkapi sarana perdagangan berupa pasar tradisional semenjak tahun 1758. Pasar yang dulunya berupa kawasan yang banyak tumbuh pohon beringin akhirnya diberi nama pasar bringharjo. Kawasan perdagangan tersebut terus berkembang dan setelah berlalu 248 tahun, akitvitas perdagangan meluas hingga menguasai seluruh kawasan Malioboro. Malioboro diambil dari bahasa sansekerta yang berarti karangan bunga. Dulu, jalan yang perisi membujur ke arah pintu gerbang Keraton Ngayogyakarta selalu dipenuhi karangan bunga jika Keraton menggelar perhelatan. Karena itu jalan tersebut diberi nama Malioboro (karangan bunga).
Malioboro menjadi saksi bisu beragam peristiwa penting yang akhirnya banyak mewarnai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Hengkangnya tentara kerjaan Belanda dari Bumi Pertiwi secara simbolik dilakukan di Jalan Malioboro dan ada prasastinya yang dapat dilihat sampai sekarang. Di kanan kiri Jalan Malioboro terdapat banyak bangunan bersejarah, diantaranya benteng vredeburg dan Gedung Agung. Pernah menjadi tempat bersarang komunitas seniman dan budayawan besar. Malioboro memang eksotik. Keeksotikan tersebut tetap berpendar hingga saat ini dibuktikan dengan :

1.      Malioboro sebagai Surga Cinderamata
Menikmati pengalaman berbelanja, berburu cinderamata khas Jogja, wisatawan bisa berjalan kaki sepanjang bahu jalan yang berkoridor (arcade). Di sini akan ditemui banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Sepanjang arcade, wisatawan selain bisa berbelanja dengan tenang dalam kondisi cerah maupun hujan, juga bisa menikmati pengalaman belanja yang menyenangkan saat menawar harga. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan separohnya.
Jangan lupa untuk menyisakan sedikit tenaga. Masih ada pasar tradisional yang harus dikunjungi. Di tempat yang dikenal dengan Pasar Beringharjo, selain wisatawan bisa menjumpai barang-barang sejenis yang dijual di sepanjang arcade, pasar ini menyediakan beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Selain produk lokal Jogja, juga tersedia produk daerah tetangga seperti batik Pekalongan atau batik Solo. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan harga yang lebih murah.
Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi para wisatawan.

2.            Lesehan Malioboro
Saat matahari mulai terbenam, ketika lampu-lampu jalan dan pertokoan mulai dinyalakan yang menambah indahnya suasana Malioboro, satu persatu lapak lesehan mulai digelar. Makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel lele bisa dinikmati disini selain masakan oriental ataupun sea food serta masakan Padang. Serta hiburan lagu-lagu hits atau tembang kenangan oleh para pengamen jalanan ketika bersantap.
Bagi para wisatawan yang ingin mencicipi masakan di sepanjang jalan Malioboro, mintalah daftar harga dan pastikan pada penjual, untuk menghindari naiknya harga secara tidak wajar.
Mengunjungi Yogyakarta yang dikenal dengan "Museum Hidup Kebudayaan Jawa", terasa kurang lengkap tanpa mampir ke jalan yang telah banyak menyimpan berbagai cerita sejarah perjuangan Bangsa Indonesia serta dipenuhi dengan beraneka cinderamata. Surga bagi penikmat sejarah dan pemburu cinderamata.


4. SENDRATARI RAMAYANA

Kunjungan OB yang ke-4 setelah Malioboro adalah Pementasan Sendratari Ramayana di Prambanan. Rombongan sampai di Prambanan kira-kira pukul 19.30 WIB. Sendratari Ramayana adalah seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan dan sulit tertandingi. Pertunjukan ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk menyuguhkan kisah Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sanskerta.
Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan ini serupa dengan yang terpahat pada Candi Prambanan. Seperti yang banyak diceritakan, cerita Ramayana yang terpahat di candi Hindu tercantik mirip dengan cerita dalam tradisi lisan di India. Jalan cerita yang panjang dan menegangkan itu dirangkum dalam empat lakon atau babak, penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta.
Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak tari yang dibawakan oleh para penari yang rupawan dengan diiringi musik gamelan. Anda diajak untuk benar-benar larut dalam cerita dan mencermati setiap gerakan para penari untuk mengetahui jalan cerita. Tak ada dialog yang terucap dari para penari, satu-satunya penutur adalah sinden yang menggambarkan jalan cerita lewat lagu-lagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang khas.
Anda tak akan kecewa bila menikmati pertunjukan sempurna ini sebab tak hanya tarian dan musik saja yang dipersiapkan. Pencahayaan disiapkan sedemikian rupa sehingga tak hanya menjadi sinar yang bisu, tetapi mampu menggambarkan kejadian tertentu dalam cerita. Begitu pula riasan pada tiap penari, tak hanya mempercantik tetapi juga mampu menggambarkan watak tokoh yang diperankan sehingga penonton dapat dengan mudah mengenali meski tak ada dialog.
Anda juga tak hanya bisa menjumpai tarian saja, tetapi juga adegan menarik seperti permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat. Permainan bola api yang menawan bisa dijumpai ketik Hanoman yang semula akan dibakar hidup-hidup justru berhasil membakar kerajaan Alengkadiraja milik Rahwana. Sementara akrobat bisa dijumpai ketika Hanoman berperang dengan para pengikut Rahwana. Permainan api ketika Shinta hendak membakar diri juga menarik untuk disaksikan.

Di Yogyakarta, terdapat dua tempat untuk menyaksikan Sendratari Ramayana. Pertama, di Purawisata Yogyakarta yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur Kraton Yogyakarta. Di tempat yang telah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2002 setelah mementaskan sendratari setiap hari tanpa pernah absen selama 25 tahun tersebut, anda akan mendapatkan paket makan malam sekaligus melihat sendratari. Tempat menonton lainnya adalah di Candi Prambanan, tempat cerita Ramayana yang asli terpahat di relief candinya.

Cerita dimulai ketika Prabu Janaka mengadakan sayembara untuk menentukan pendamping Dewi Shinta (puterinya) yang akhirnya dimenangkan Rama Wijaya. Dilanjutkan dengan petualangan Rama, Shinta dan adik lelaki Rama yang bernama Laksmana di Hutan Dandaka. Di hutan itulah mereka bertemu Rahwana yang ingin memiliki Shinta karena dianggap sebagai jelmaan Dewi Widowati, seorang wanita yang telah lama dicarinya.
Untuk menarik perhatian Shinta, Rahwana mengubah seorang pengikutnya yang bernama Marica menjadi Kijang. Usaha itu berhasil karena Shinta terpikat dan meminta Rama memburunya. Laksama mencari Rama setelah lama tak kunjung kembali sementara Shinta ditinggalkan dan diberi perlindungan berupa lingkaran sakti  berupa lingkaran magis agar Rahwana tak bisa menculik. Perlindungan itu gagal karena Shinta berhasil diculik setelah Rahwana mengubah diri menjadi sosok Brahmana Tua.
Dalam pengejaran akhirnya kijang dipanah Rama. Ternyata kijang tersebut berubah menjadi Raksasa kalamarica, sehingga terjadilah perang dengan Rama. Marica akhirnya terpanah oleh Rama. Leksamana menyusul Rama, mengajak untuk segera menemui Shinta.
Perjalanan Rahwana membawa Shinta ke Alengka terhambat oleh seekor burung Garuda ernama Jatiayu. Jatiayu ingin menolong Shinta yang dikenalinya sebagai Putri Prabu Janaka sahabatnya, dalam peperangan tersebut Jatayu dapat dilumpuhkan Rahwana. Karena Rama dan Leksmana tidak menemukan Shinta di tempat semula, maka dicarinya Shinta. Dalam perjalanannya bertemu dengan Jatayu dalam keadaan luka parah. Rama mengira Jatayu yang menyulik Shinta. Jatayu akan dibunuh oleh Rama, namun dapat dicegah oleh Leksmana. Setelah Jatayu menceritakan keadaan yang sebenarnya maka Jatayu mati dengan iringan Rama dan Leksmana. Dalam kesedihannya datanglah seekor kera putih bernama Hanuman yang diutus pamannya Sugriwa untuk mencari dua orang satria yang dapat mengalahkan Subali kakaknya yang sangat sakti yang telah merebut Dewi Tara kekasih Sugriwa.  Akhirnya Rama membantu Sugriwa mengalahkan Subali. Karena jasa baik Rama, Sugriwa membantu Rama untuk mencari Dewi Shinta. Untuk itu Hanuman diutus mencari dan menyelidiki Negeri Alengka.
Setelah sampai di Alengka dan seusai menghadap Shinta, Hanuman segera ingin mengetahui kekuatan kerajaan Alengka. Maka dirusaklah keindahan taman Alengka. Namun akhirnya Hanuman ditangkap oleh Indrajid. Dan Hanuman mendapatkan hukuman yaitu dibakar hidup-hidup, namun bukannya tubuh Hanuman yang terbakar tetapi api justru melahap kerajaan Alengka hingga habis.
Di akhir cerita, Shinta berhasil direbut kembali dari Rahwana oleh Hanoman, sosok kera yang lincah dan perkasa. Namun ketika dibawa kembali, Rama justru tak mempercayai Shinta lagi dan menganggapnya telah ternoda. Untuk membuktikan kesucian diri, Shinta diminta membakar raganya. Kesucian Shinta terbukti karena raganya sedikit pun tidak terbakar tetapi justru bertambah cantik. Rama pun akhirnya menerimanya kembali sebagai istri.

Pukul 21.30 pertunjukkan Sendratari Ramayana pun usai, penonton dengan ramai memberikan tepuk tngan yang meriah sebagai wujud apresiasi karya sastra yang di pertunjukkan. Semua mata merasa sangat menikmati pertunjukkan yang berlangsung selama dua jam itu. Pemainpun memberi kesempatan bagi audience untuk mengambil atau sekadar berfoto dengan mereka. Setelah itu rombongan kami menuju ke bus melanjutkan perjalanan pulang. Namun di sela perjalanan pulang, kami singgah sebentar untuk berburu oleh-oleh khas Yogyakarta bagi yang belum membeli atau bagi yang ingin membeli lagi cinderamatanya. Setelah menempuh perlajanan kurang lebih 3 jam, kami tiba di kampus dengan selamat.



PENUTUP

a.        Simpulan

Pelaksanaan Orientasi Budaya ke Yogyakarta berjalan dengan baik. Dengan tiga buah bus, jumlah sekitar 160 mahasiswa, serta dosen pembimbing lapangan dan para pemandu bus untuk mengunjungi empat objek yang cukup menarik dan menambah pengetahuan diantaranya, Keraton Surakarta, Taman Pintar, Malioboro, dan Sendratari. Berangkat dari pukul 06.30 sampai 01.00 cukup menguras tenaga dan pikiran. Kami tidak hanya terkuras tenaagnya tetapi juga mendayagunakan pikiran atau mind dalam menggali informasi serta mencatat hal-hal yang penting sebagai bahan pembuatan laporan. Dengan adanya pelaksanaan Orientasi Budaya ini juga mampu melatih mahasiswa untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan tempat baru mereka. Banyak sekali ilmu yang kita dapat dari kegiatan KKL tersebut. Sehingga mampu menerapkan atau mengaplikasikan ilmu yang sudah kita dapat di perkuliahan dengan keadaan di lapangan.

b.                  Saran

1.                  Pelaksanaan Orientasi Budaya cukup baik, namun perlu menjadi masukan saja. Lebih baik jikalau pelaksanaan Orientasi Budaya dilakukan secara serempak dengan satu tujuan yang sama dalam kunjungan. Hal itu akan menimbulkan rasa kebersamaan yang tinggi.
2.                  Menanamkan kepada mahasiswa bahwa Orientasi Budaya bukanlah ajang sekadar bersenang-senang belaka, akan tetapi kita belajar, mencari sesuatu yang belum kita ketahui sebelumnya. Informasi harus digali sebanyak-banyaknya sebagai bahan kajian bidang studi.
3.                  Diharapkan mahasiswa mampu menerapkan ilmu yang telah mereka dapat dari Orientasi Budaya dalam berbagai aspek sesuai dengan konteksnya.

























LAMPIRAN




http://coretanpetualang.files.wordpress.com/2011/04/keraton-solo-pintu-masuk-utara.jpg?w=300&h=200
Gb. PINTU GERBANG UTARA



http://coretanpetualang.files.wordpress.com/2011/04/keraton-solo-gerbang-timur.jpg?w=200&h=300
http://coretanpetualang.files.wordpress.com/2011/04/keraton-solo-pintu-gerbang-lain.jpg?w=300&h=200


http://farm4.static.flickr.com/3487/3235577595_66370e416e.jpg

http://farm4.static.flickr.com/3398/3236422716_6817853c12.jpg










































 

 






 








 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar