LAPORAN KEGIATAN
ORIENTASI BUDAYA KE
YOGYAKARTA
1.
Dewi
Wahyuni NPM 09410155
2.
Endhi
Pujiana NPM 09410160
3.
Fitri
Asmawati NPM 09410162
4.
Ima
Dewi M. NPM 09410166
5.
Istikomah NPM 09410167
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP
PGRI SEMARANG
2011
PERSETUJUAN
·
LAPORAN
ORIENTASI BUDAYA telah disetujui pada tanggal
·
Menyetujui
·
Ketua
jurusan DPL,
Drs.
Harjito, M.Hum Dra.
Sri Ambarini A. , M.Hum
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Persetujuan
Daftar Isi
Kata Pengantar
Isi
a.
Latar
Belakang
b.
Tujuan
Orientasi Budaya
c.
Laporan
Kunjungan Orientasi Budaya
Penutup
a.
Simpulan
b.
Saran
Lampiran
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan mengenai KKL
di Yogyakarta dengan baik. Shalawat serta salam tak luput pula kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya di
zaumul akhir.
Adapun tujuan pembuatan laporan tersebut yakni untuk memenuhi tugas
wajib mata kuliah orientasi budaya yang berjumlah 2 sks dan sekaligus sebagai mahasiswa
IKIP PGRI Semarang tahun 2011.
Penyelesaian laporan ini membutuhkan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian laporan ini. Tanpa dukungan dari berbagai pihak,
laporan KKL ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih kami
haturkan kepada:
1.
Drs.
Harjito, M.Hum selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
2.
Dra.
Sri Ambarini A., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Lapangan,
3.
Teman-teman
mahasiswa IKIP PGRI Semarang yang telah membantu menyelesaikan pembuatan
laporan dengan baik,
4.
Pihak-pihak
pengadaan sarana dan prasarana serta pembantu pelaksanaan KKL Mahasiswa IKIP
PGRI Semarang tahun 2011 di lapangan.
Seperti
peribahasa “ Tak ada gading yang tak retak” maka dari itu kritik serta saran
kami butuhkan untuk menyempurnakan laporan KKL yang telah kami susun.
Semoga laporan KKL ke Yogyakarta dapat memenuhi tugas wajib kami
mata kuliah Orientasi Budaya dengan sempurna dan mendapatkan nilai yang
memuaskan. Selain itu juga dapat menambah pengetahuan bagi pembaca, serta dapat
dijadikan acuan pembaca dalam pembuatan laporan pada tahun berikutnya.
Semarang, 4 Mei
2011
Penulis
ISI
a.
Latar
Belakang
Bahasa dan
Sastra Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang penting di sekolah.
Mata pelajaran tersebut memiliki materi pokok bahasa indonesia dan sastra
indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salaha satu bahasa yang penting di dunia
pendidikan. Semua komunikasi di sekolah menggunakan bahasa indonesia. Hal ini
karena bahasa indonesia sebagai pengantar dalam dunia pendidikan. Sastra
indonesia juga tak kalah pentingnya dengan materi bahasa indonesia. Sastra
digunakan untuk mengekspresikan diri, memperoleh pengalaman, dan menghubungkan
imajinasi dunia nyata. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Indonesia merupakan
kebutuhan yang sangat penting bagi guru bahasa dan sastra indonesia.
Orientasi
Budaya merupakan kegiatan intrakurikuler yang wajib diikuti oleh setiap
mahasiswa program sarjana ( S1). Orientasi budaya sebagai suatu kegiatan perkuliahan dan kerja
lapangan yang merupakan pengintegrasian pengetahuan teoritis yang diperoleh
dari kampus dengan pengalaman di lapangan. Orientasi Budaya termasuk ke dalam
kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat ( MBB), yaitu kelopmpok bahan
kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk memahami kaidah kehidupan
bermasyarakat.
Diharapkan
dengan adanya mata kuliah Orientasi Budaya, mahasiswa IKIP PGRI Semarang mampu
menerapkan ilmu yang telah mereka dapatkan saat perkuliahan, mampu
menghubungkan atau mengkorelasikan sesuai dengan konteksnya, serta dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa dan meningkatkan kemampuan mahasiswa
dalam bersosial dengan masyarakat. Sebagai calon guru dituntut untuk mampu
beradaptasi dan bersosial dengan masyarakat luas karena tugas utamanya yakni
menyalurkan ilmu yang telah mereka miliki.
b.
Tujuan
Orientasi Budaya
Sesuatu yang kami lakukan pastinya mempunyai tujuan. Dengan tujuan
itulah apa yang kita lakukan dapat terarah dan terfokus. Maka dari itu tujuan
dari Orientasi Budaya adalah sebagai berikut:
1.
Mahasiswa
mengenal objek-objek yang berkaitan dengan bidang seni, bahasa, dan budaya,
2.
Mahasiswa
dapat menambah pengetahuan mengenai bahasa indonesia dan budaya dengan melakukan
tukar wawasan dengan narasumber dari berbagai golongan dan budaya,
3.
Mahasiswa
mampu mengaplikasikan semua materi yang diperoleh saat perkuliahan dengan
praktik di lapangan,
4.
Dapat
menjadi guru yang memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial.
c.
Laporan
Kunjungan Orientasi Budaya
1. Keraton Surakarta Hadiningrat
Kunjungan OB yang pertama yakni Keraton Surakarta, tiba
di lokasi pukul 09.30 kemudian rombongan melanjutkan perjalanan dengan berlajan
kaki kurang lebih 500 meter menuju pintu depan keraton.
Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa
disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta.
Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton
Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram
didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan
(sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu
diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula
menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II
kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan
istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Kemegahan Arsitektural
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang
eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta
sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada
1744-45, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata
ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara
besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini
bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Secara umum pembagian keraton meliputi:
Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil
Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti,
Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti
Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil
Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks keraton ini juga
dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar
tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini
melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran
lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks
keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara
sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun
tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.
Kompleks Alun-alun Lor/Utara
Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun
utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal
dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu
digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan.
Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang
melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan
rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di
tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina;
Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut
Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru
dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng
(Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan
didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan
kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk ( terlampir).
Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor/Utara
Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton
Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap
para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di
kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai
Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa
pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan Sasana Sumewa
terdapat kompleks Sitihinggil.
Sitihinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah
yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu
disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah
selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil
sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan
kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat.
Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana
yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu
terdapat Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal
Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya
upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di
tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat
persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang
konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timur-selatan-barat
kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat
yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang). ( terlampir).
Kompleks Kemandungan Lor/Utara
Kori Kamandungan dilihat dari arah halaman Kemandungan Lor dengan Bale
Roto didepannya dan Panggung Sangga Buwana yang menjulang tinggi sebagai latar
belakang.
Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk
utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus
menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding
istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang dengan
halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III
dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari
Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga
pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di
tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang
terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula
dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana
(Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri
Manganti.
Kompleks Sri Manganti
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah
pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan
dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di
sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya
terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya
terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo.
Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha
disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para
pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini
pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang
tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha
pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk
kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan
vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan
Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara
bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang
memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua
halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian
pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.
Kompleks Kedhaton
Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton
dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki
kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang
memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi
kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias
diatas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan
dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik
(Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga
dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan
utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana
Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami
sebuah kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara
kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat
Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah
barat Sasana Parasdya terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini
merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta
Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja
yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula seorang raja bersumpah ketika
mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di Sitihinggil
utara.
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini
digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini
biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang
ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana.
Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk
mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima
lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal
suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun
dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.
Sebelah barat kompleks Kedhaton
merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk
dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya.
Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang
masih digunakan hingga sekarang.
Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan)
Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon
pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah
halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan
Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman
raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun
kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk
memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai
Slamet.
Warisan Budaya (Cultural Heritage)
Para tamu agung pada perhelatan ke empat Pisowanan
Agung Tingalan Dalem Jumenengan SISKS. Pako Boewono XIII
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki
suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara
adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat
yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan
upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini
hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus
dilindungi dari klaim pihak asing.
Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam
satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud
(bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal
sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja
mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas
kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan
yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan
perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas
agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang
yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan
beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya
dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan
estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga.
Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras
ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera
Indonesia kecil di sebelah atasnya.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan
yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo
dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua
perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari,
dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam
hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya
pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat
ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam
yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
Kirab Mubeng Beteng utawa Malam Satu Suro
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun
baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari pada
hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya
matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton
Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan
Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan
utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton
dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman
Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan
diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para
pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan
ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai
Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pusaka (heirloom) dan tari-tarian sakral
Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan
diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik gamelan dan koleksi
senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai
Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara Sekaten.
Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang
hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral
adalah Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat pemahkotaan raja.
Pemangku Adat Jawa Surakarta
Semula keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial
House) yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat
pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah Kesunanan Surakarta
dinyatakan hapus oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak
lebih sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu
pula Susuhunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja
dala artian politik melainkan sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat,
pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan
penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi
yang terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki
kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah
Kesunanan Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar
kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai
perhatian kepada budaya Jawa khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak
karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem)
keraton.
Perebutan tahta Kasunanan Surakata
Sepeninggal Sri Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 2004, terjadi perebutan
takhta antara Pangeran Hangabehi (putra pertama) dangan Pangeran
Tejowulan, yang
masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII. hangabehi merasa
memiliki legitimasi atas takhta karena ia adalah putra lelaki pertama,
sementara Tejowulan berargumen bahwa Pakubuwana XII telah menyatakan secara
tertulis bahwa Tejowulanlah yang akan menggantikannya. Konflik ini belum berakhir dan berada pada status quo.
Perebutan kekeuasaan yang tak kunjung selesai
ini awalnya cukup membuat bingung masyarakat soloraya, namun seiring dengan
perjalanan waktu seakan ada pemakluman dari masyarakat bahwa ini adalah wajar
dalam sebuah perebutan kekuasaan. sampai saat ini kedua raja tetap menjalankan
fungsi yang kurang lebih sama seperti penyelenggaraan tingalan jumenengan. yang
membedakan adalah sinuwun hangabehi menyelenggarakan di dalam keraton dan
sinuwun tedjowulan menyelenggarakan di ndalem wuryaningratan. hal lain yang
sama adalah kedua raja juga memberikan gelar gelar kepada kawula dan para tokoh
seperti Sutiyoso oleh Sinuwun Tdejowulan dan Manohara oleh Sinuwun Hangabehi.
Filosofi dan Mitologi seputar Keraton
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun
benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam
keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh
disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang
begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan ditunjukkan dalam paragraf
berikut.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung
makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung
yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu
yang berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga
Marcukundho melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana
adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya
adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya
sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya
sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang
bergunung-gunung.
Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta
legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang
semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang.
Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam
memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan
itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta. Ketika
istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta hanya
akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan
raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare payung).
Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi.
Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6 maka dua ratus
tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan benar-benar
merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar dihapus dan
kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas kerabat dekatnya
saja.
Keraton
Surakarta : Perpaduan Kemegahan Eropa dan Keunikan Jawa.
Keraton
Surakarta (Solo) atau disebut sebagai Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat merupakan keraton dengan gaya dan arsitektur yang sangat unik.
Keraton ini tertelak di kota Surakarta biasa disebut dengan nama Solo yang
berada di Propinsi Jawa Tengah.
Keraton Solo merupakan perpaduan yang khas antara gaya eropa
dan etnik Jawa dalam setiap sudut dan tata ruang Keraton. Secara sejarah
Keraton Solo di bangun oleh Pakubuwono II sekitar tahun 1744. Berbicara tentang
Keraton, tak lepas dari sejarah kerajaan-kerajaan
islam yang penah berjaya di tanah jawa. Ketika Kerajaan Islam Pajang mulai
memperlihatkan titik surut, maka mulailah berdiri kerajaan mataram yang
didirikan oleh Sultan Ageng Hanyokrokusumo. Dalam beberapa dekade, kerajaan ini
sangat kuat dan jaya, namun akhir kerajaan Mataram Islam tidaklah semanis masa
jayanya.
Kerajaan
Mataram Islam harus terpecah menjadi dua bagian barat dan timur pada tahun 1755
dengan sebuah perjanjian yang disebut perjanjian Giyanti. Dalam kesepakatan
tersebut membagi Mataram Islam menjadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
berada di sebelah barat kali Opak Prambanan dan Keraton Surakarta Hadiningrat
yang berada di sebelah timurnya. Untuk sisi sebelah barat telah dikupas
ditulisan sebelumnya dan sekarang lebih mengenal tentang Keraton Solo yang
merupakan perpaduan antara kemegahan Eropa
dan Kenunikan etnik Jawa yang mempesona.
Keraton
Surakarta atau Solo terletak di selatan Jawa Tengah, Berada di koordinat
7° 34′ 0″ LS, 110° 49′ 0″ BT. Surakarta sendiri
berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten
Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten
Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di
sebelah selatan. Apabila Petualang hendak menuju ke Keraton Solo ini, sangat
mudah terjangkau dari berbagai penjuru. Bisa dari sisi barat dimulai dari Jogjakarta – Klaten –
Kartosuro (Pertigaan Tugu ke kanan) – Silakan lurus menuju Patung Slamet Riyadi
(Beteng Vasdenburg ke kanan) – Alun alaun – Keraton. Apabila dari Semarang bisa
melalui rute Ungaran – Bawen –
Salatiga – Boyolali – Kartosuro (Pertigaan Tugu lurus) – Patung Slamet Riyadi –
Keraton.
Perjalanan
dari Jogjakarta hanya sekitar 1.5jam dengan track normal, atau dari Semarang
hanya sekitar 2 jam dengan kondisi lalu lintas yang tidak macet. Setelah
melewati patung Slamet Riyadi, Petualang akan menuju ke arah alun-alun dengan
jalanan yang sangat sejuk karena jalanan ditumbuhi oleh pohon beringin yang
sangat besar. Untuk alun-alun sendiri memang tidak bisa masuk bebas leluasa
seperti alun-alun yang ada di keraton Jogja,
karena alun-alun solo tersebut diberi pagar melingkar disemua sisinya. Namun
petualang bisa masuk dari beberapa pagar yang ada di empat sisi alun-alunnya.
Setelah
melewati alun-alun silakan untuk menuju istana yang sangat megah, Petualang
disarankan untuk pelan berkendara karena pintu gerbang Keraton Solo ini memang
agak tidak mudah ditemukan. Petualang silakan menuju pintu gerbang utara (Kori
Wijil) karena gerbang inilah yang memang disediakan untuk pengunjung yang
hendak memasuki Keraton Surakarta. Pemandangan pertama kali yang akan ditemui
oleh Petualang adalah bagunan pintu gerbang yang berwarna biru (Kori
Brajanala atau Kori Gapit) dan menara tinggi yang
sangat unik (Panggung Sangga Buwana). Petualang bisa membeli tiket
didepan pintu tersebut dan parkir disekitar area didepannya. Atau berbelok ke
kiri mengikuti jalan sekitar 100 meter lalu berbelok ke kanan, maka akan
Petualang temukan pintu masuk yang lain.
Apabila
membeli tiket dari pintu gerbang utara memang bisa mengabadikan beberapa landscape
yang sangat terkenal tersebut, yaitu pintu berwarna biru (Kori
Kamandungan) dan menara yang berdiri megah. Apabila dari pintu yang
satunya, maka akan didapati pemandangan yang serba biru di dinding namun hijau
lumut dilantainya. Untuk harga tiket masuk Keraton Surakarta atau Solo cukup
terjangkau, hanya sekitar Rp. 10.000,- untuk Petualang umum. Bagi Petualang
yang ikut rombongan atau pelajar sekolah, harga tiket bisa lebih murah. Namun
bila Petualang merupakan foreigner tiket masuk Keraton Surakarta hanya
Rp. 12.500,-. Itu belum termasuk biaya parkir sebesar Rp. 2.000,-. Apabila Petualang
membawa Kamera, maka ditambah biaya sebesar Rp. 3.500,-. Hmm, cukup terjangkau
dan murah bukan?
Beberapa
buah tangan juga disediakan oleh Keraton sebagai kenangan kalau pernah
berkunjung ke Keraton Surakarta. Letaknya persis didepan pembelian tiket
digerbang sebelah timur.
Petualang
akan memasuki dua tempat di Keraton Surakarta, bagunan tersbut bernama Bangsal
Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di
sebelah timur. Bagunan ini sangat unik dan menyimpan berbagai hasil kebudayaan
orang jawa dimasa dulu. Petualang bisa menuju ke taman yang berada disebelah
belakang pintu masuk. Tips : Silakan Petualang memakai sepatu, karena pihak
Keraton Solo tidak memperbolehkan Petualang berjalan di area taman dengan
memakai sandal, topi, kacamata dan celana pendek. Bagaimana jika tidak memakai
sepatu? Nah, silakan Petualang untuk berjalan tanpa alas kaki (nyeker)
dengan menitipkan sepatu ke Abdi Dalem Keraton. Keraton Solo juga menyediakan
kain batik jarik apabila Petualang memakai celana pendek.
Di dalam
taman ini terdapat bangunan seperti kedhaton yang panjang juga unik, dengan
bebatuan marmer yang sangat megah. Dibuat memanjang dihiasi dengan ornamen ala
jawa di pilar penyangganya dan atap bangunan yang mengkerucut mirip seperti
rumah joglo jawa tengah. Tanah di taman ini bukan tanah pada umumnya, namun
merupakan pasir yang berasal dari pantai laut selatan. Jadi, Petualang yang
berjalan tanpa alas kakipun nyaman ketika memutari seluruh area taman. Selain
lantai yang berpasir, taman ini juga terdapat tanaman sawo kecik yang tertata
rapi berjajar berjumlah 76 pohon. Didepan kedhaton panjang tersebut terdapat
bangunan pendopo yang megah dan mewah. Pendopo yang bernama Sasana
Sewaka tersebut dihiasi berbagai macam patung dengan gaya yunani atau eropa
kuno. Patung bergaya eropa tersebut tepat berada didepan pendopo yang berjumlah
lebih dari 6 buah. Memang sangat unik, keraton dengan gaya arsitektur etnik
jawa dengan beberapa hiasan patung model eropa.
Setelah
menilik taman yang nyaman dan sejuk, Petualang bisa melanjutkan ke bangunan
sebelahnya dekat dengan pintu masuk. Didalam bangunan tersebut terdapat
beberapa karya dan budaya warisan kerajaan jaman dulu. Mulai dari era
hindu-budha hingga kerajaan Islam. Hampir mirip dengan Keraton Jogja yang
menyimpan berbagai pusaka dan hasil budaya Jawa. Terdapat juga sisilah dinasti
Mataram dari Ki Ageng Pemahanan hingga Pakubuwana IX. Beberapa artefak dan
patung peninggalan kerajaan jamam dulu juga terdapat dibangunan tersebut,
seperti batu candi, patung dewa, dan peninggalan yang laain.
Beberapa
warisan budaya seperti gong beri, aneka dolanan jawa, patung raja duduk di
singasana, berbagai macam andong (dokar / delman) yang menjadi alat
transportasi raja jaman dulu kala. Juga beberapa sample peralatan yang
digunakan oleh orang-orang jawa seperti gejog lesung, bokor tempat menanak nasi
yang berukuran besar. Kalau di Keraton Jogja
ada lukisan yang unik dan mistis, maka di solopun juga terdapat lukisan
tersebut. Ketika Petualang melihat bagian lukisan tersebut, seolah-olah bagian
dari gambar lukisan tersebut mengikuti ke arah kemana Petualang melihatnya.
Karya yang luar biasa.
Diluar
bagunan juga terdapat kayu jati wungu yang merupakan potongan kayu peninggalan
sunan, jati ini hampir mirip dengan jati yang terdapat di Masjid Agung Demak
atau Masjid Sekayu yang ada di kota
Semarang. Selain itu, terdapat sumur tua
yang airnya sangat jernih, beberapa Petualang memanfaatkan untuk berwudhu dan
memcuci muka. Silakan untuk minta air tersebut kepada abdi dalem keraton solo,
dengan memberi infak sekedarnya. Mirip di Keraton Jogja
dimana ketika Petualang masuk ke area batik di keraton Jogja, maka akan ditemui
sebuah sumur tua yang digunakan untuk perawatan kuda, namun tidak bisa
merasakan segarnya sumur tua tersebut. Keraton Surakarta memang menyimpan
keunikan tersendiri. Walaupun hanya sekilas dan kecil, namun mengagumkan untuk
datang dan melihat perpaduan yang unik dari dua budaya yang berbeda.
Bangunan bersejarah itu berdiri megah di tepi lapangan Alun-Alun
Utara kota Solo. Disebelahnya berdiri pusat ekonomi Pasar Klewer, berdampingan dengannya adalah Masjid Agung Surakarta. Ketiganya menghadap tanah lapang yang luas. Simbol kebesaran
kerajaan Mataram Islam.
Mataram Islam? Iya, sepeninggal
Sultan Agung Hanyakrakusuma, pergolakan terjadi pada tubuh pemerintahan
kerajaan Mataram. Adalah sebuah perjanjian bernama Perjanjian Giyanti yang
memecah kerajaan ini menjadi Kraton Surakarta Hadiningrat dan Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Kraton Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Sunan Pakubuwana
(karena itu kraton ini disebut juga Kraton Kasunanan), sedangkan Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar
Sultan Hamengkubuwana I.
Berikut laporannya :
Balairung utama. Saya membayangkan
tempat ini pernah menjadi papan pasewakan agung, dimana
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana lenggah di dhampar
kencana — singgasana istana –, sementara para bawahannya duduk
bersimpuh sambil menghaturkan sembah baktinya. Sekarang, tempat ini berdebu dan
tak terawat.
Singgasana Dhampar
Kencana. Dari sinilah Susuhunan Paku Buwana memerintah pada
masanya. Pengunjung tidak diperbolehkan naik panggung ini dan terlihat bahwa
bagian ini sangat dihormati. Wangi asap kemenyan masih tercium bersama uba
rampe sesajen yang disiapkan di situ.
Meriam Kiai Rancawara (Marijem
Kijahi Rontjoworo). Berbahan perunggu dan sangat tua. Dulu mungkin meriam ini
dihormati sama tingkatannya seperti seorang tumenggung, tetapi sekarang,
moncongnya penuh sampah dan terlantar kehujanan kepanasan di depan kraton.
Jalanan kompleks kraton. Dipagari
oleh tembok yang kokoh, khas arsitektur Jawa-Belanda. Jalanan ini dulunya
mungkin adalah penghubung antara kompleks-kompleks kraton semacam kesatrian,
keputren, balairung utama, dll. Sekarang dipakai sebagai jalanan umum
sebagai jalan tembus dari Jl. Slamet Riyadi langsung ke Pasar Klewer.
Dibandingkan dengan istana Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang selalu ramai dikunjungi wisatawan dan begitu
terawat, Kraton Surakarta seperti istana yang terlupakan dan terpinggirkan.
Namun demikian, istana ini masih sedikit lebih baik kondisinya dibandingkan
dengan istana lain yang ada di kota Solo ini: Kraton Mangkunegaran. Sayang
sekali waktu saya di Solo sudah habis untuk mengunjunginya. Nanti kalau saya ke
sana lagi, akan saya laporkan Mangkunegaran ini dalam bidikan lensa saya. Cherio!
2. Taman
Pintar
Kunjungan OB yang kedua yakni Taman
yang membuat pengunjung pinter. Rombongan sampai Taman Pintar pukul 14.30.
Taman yang di bangun di atas tanah seluas 12.000 meter persegi ini telah banyak
mengalami renovasi dari pemerintahan Soekarno sampai pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Tempat wisata ini lebih sebagai tempatnya wisata pendidikan,
terletak di kawasan pusat Kota Yogyakarta merupakan tempat rekreasi sains yang
dapat memotivasi anak dan generasi muda untuk mencintai sains dan teknologi.
Ruang Lingkup
Disebut "Taman Pintar",
karena di kawasan ini nantinya para siswa, mulai pra sekolah sampai sekolah
menengah bisa dengan leluasa memperdalam pemahaman soal materi-materi pelajaran
yang telah diterima di sekolah dan sekaligus berekreasi.
Dengan Target Pembangunan Taman Pintar adalah
memperkenalkan science kepada siswa mulai dari dini, harapan lebih luas
kreatifitas anak didik terus diasah, sehingga bangsa Indonesia tidak hanya
menjadi sasaran eksploitasi pasar teknologi belaka, tetapi juga berusaha untuk
dapat menciptakan teknologi sendiri.
Bangunan Taman Pintar ini dibangun di eks kawasan Shopping Center, dengan pertimbangan tetap adanya keterkaitan yang erat antara Taman Pintar dengan fungsi dan kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Taman Budaya, Benteng Vredeburg, Societiet Militer dan Gedung Agung.
Bangunan Taman Pintar ini dibangun di eks kawasan Shopping Center, dengan pertimbangan tetap adanya keterkaitan yang erat antara Taman Pintar dengan fungsi dan kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Taman Budaya, Benteng Vredeburg, Societiet Militer dan Gedung Agung.
Relokasi area mulai dilakukan pada
tahun 2004, dilanjutkan dengan tahapan pembangunan Tahap I adalah Playground
dan Gedung PAUD Barat serta PAUD Timur, yang diresmikan dalam Soft
Opening I tanggal 20 Mei 2006 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo.
Pembangunan Tahap II adalah Gedung Oval lantai I
dan II serta Gedung Kotak lantai I, yang diresmikan dalam Soft Opening II
tanggal 9 Juni 2007 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo dan Menristek, Kusmayanto
Kadiman, serta dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pembangunan Tahap III adalah Gedung Kotak lantai II
dan III, Tapak Presiden dan Gedung Memorabilia.
Dengan selesainya tahapan pembangunan, Grand Opening
Taman Pintar dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2008 yang diresmikan oleh
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Taman Pintar
sebagai wahana ekspresi, apresiasi dan kreasi sains dalam suasana yang menyenangkan
bagi pengunjung. Taman Pintar menyuguhkan berbagai macam zona permainan sekaligus
pembelajaran sains yang mencerdaskan dan menyenangkan. Tak hanya itu, Taman
Pintar juga mengadakan berbagai macam program kegiatan yang diadakan tiap tahun
seperti Kontes Robot Pintar Yogyakarta (KRPY) yang memperebutkan Piala dari
Menristek, Science Tech Idol yang merangsang generasi muda untuk melakukan
penelitian dan berinovasi tentang energi terbarukan, serta kegiatan MOS (Masa
Orientasi Siswa) yang diadakan tiap tahun dan diikuti oleh sekolah-sekolah
mulai dari SD hingga SMA, dan masih banyak lagi. Berbagai macam zona dapat kita
temui di sini dengan harga yang sangat terjangkau, diantaranya yaitu zona PAUD
yang diperuntukkan bagi anak-anak usia prasekolah hingga TK. Selain zona PAUD,
terdapat juga Gedung Oval dan Kotak yang memiliki beragam alat peraga ilmu
pengetahuan dan teknologi sekaligus pengenalan lingkungan bagi Anda dan
keluarga, diantaranya yaitu aquarium air tawar, kehidupan prasejarah, sistem
tata surya, zona bencana alam, zona teknologi telekomunikasi dan informasi.
Terdapat berbagai macam zona di Gedung Kotak yaitu zona Teknologi pengolahan
minyak dan gas bumi, zona Indonesiaku, zona Teknologi Pengolahan Susu, zona
Teknologi otomotif roda dua, zona Agro yang baru saja diresmikan bulan Juni
yang lalu, dan masih banyak lagi pengetahuan yang bisa Anda dapatkan di sini.
Alat peraga yang ada di Taman Pintar ini dikemas sangat menarik dan interaktif
untuk Anda dan keluarga.
Keluarga Anda juga dapat mempelajari sejarah tentang Kepresidenan, Kasultanan dan Tokoh Pendidikan di Gedung Memorabilia dan juga dapat menikmati berbagai permainan di Playground yang merupakan zona penyambutan dengan berbagai macam permainan seperti Air Menari yang sangat diminati oleh anak-anak, Rumah Pohon, Parabola Berbisik, Labirin, Dinding Berdendang, Spektrum Warna, Tapak Presiden, Gong Perdamaian, Rumah Batik di mana anak-anak dapat membuat pola batik yang mereka inginkan dan masih banyak lagi.
Keluarga Anda juga dapat mempelajari sejarah tentang Kepresidenan, Kasultanan dan Tokoh Pendidikan di Gedung Memorabilia dan juga dapat menikmati berbagai permainan di Playground yang merupakan zona penyambutan dengan berbagai macam permainan seperti Air Menari yang sangat diminati oleh anak-anak, Rumah Pohon, Parabola Berbisik, Labirin, Dinding Berdendang, Spektrum Warna, Tapak Presiden, Gong Perdamaian, Rumah Batik di mana anak-anak dapat membuat pola batik yang mereka inginkan dan masih banyak lagi.
Untuk
berkunjung ke Taman Pintar maka dapat kita jelajahi dari pusat perekonomian
Yogyakarta, Jl. Malioboro, dengan transportasi melalui Jl. Panembahan Senopati.
Adapun waktu yang tepat untuk menikmati liburan Anda dan keluarga di Taman
Pintar, ialah setiap hari Selasa hingga Minggu dari pukul 09.00 sampai 16.00
WIB dengan harga yang sangat terjangkau. Anda juga dapat memberikan perhatian
ekstra untuk putra-putri Anda melalui berbagai macam workshop dan kursus yang
berada di mall kursus lantai 3 Gedung Kotak Taman Pintar, diantaranya yaitu
Bimbingan Belajar, kursus dan pelatihan Bahasa Inggris, Workshop Multimedia
hingga Workshop Robotik. Di lantai 3 ini Anda dan Keluarga juga dapat
menyaksikan Teater 4 Dimensi yang sangat menarik.
“Taman Pintar Yogyakarta, wahana ilmu pengetahuan yang mencerdaskan dan menyenangkan.
“Taman Pintar Yogyakarta, wahana ilmu pengetahuan yang mencerdaskan dan menyenangkan.
3. MALIOBORO
Kunjungan
OB yang ke-3 setelah Rumah Pintar adalah Malioboro. Rombongan sampai di
malioboro kira-kira pukul 16.00 WIB. Malioboro memang menjadi kawasan
legendaris dan menyimpan sejuta kenangan. Jalan Malioboro telah membentuk
sebuah kawasan tempat berkumpulnya berbagai komunitas. Dari sekian banyak komunitas
yang ada, hanya komunitas pedagang yang terus eksis hingga kini.
Komunitas-komunitas yang lain, yang dulu memanfaatkan kawasan ini, seperti
komunitas budayawan dan seniman akhirnya hanya kebagian ruang sempit, tergusur
aktivitas perdagangan yang semakin lama semakin menguasai ruang di Malioboro.
Jalan tersebut dibangun sejak Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan
Hamengku Buwono I, dilengkapi sarana perdagangan berupa pasar tradisional
semenjak tahun 1758. Pasar yang dulunya berupa kawasan yang banyak tumbuh pohon
beringin akhirnya diberi nama pasar bringharjo. Kawasan perdagangan tersebut
terus berkembang dan setelah berlalu 248 tahun, akitvitas perdagangan meluas
hingga menguasai seluruh kawasan Malioboro. Malioboro diambil dari bahasa
sansekerta yang berarti karangan bunga. Dulu, jalan yang perisi membujur ke
arah pintu gerbang Keraton Ngayogyakarta selalu dipenuhi karangan bunga jika
Keraton menggelar perhelatan. Karena itu jalan tersebut diberi nama Malioboro
(karangan bunga).
Malioboro
menjadi saksi bisu beragam peristiwa penting yang akhirnya banyak mewarnai
perjalanan panjang bangsa Indonesia. Hengkangnya tentara kerjaan Belanda dari
Bumi Pertiwi secara simbolik dilakukan di Jalan Malioboro dan ada prasastinya
yang dapat dilihat sampai sekarang. Di kanan kiri Jalan Malioboro terdapat
banyak bangunan bersejarah, diantaranya benteng vredeburg dan Gedung Agung.
Pernah menjadi tempat bersarang komunitas seniman dan budayawan besar.
Malioboro memang eksotik. Keeksotikan tersebut tetap berpendar hingga saat ini
dibuktikan dengan :
1.
Malioboro sebagai Surga Cinderamata
Menikmati pengalaman berbelanja, berburu
cinderamata khas Jogja, wisatawan bisa berjalan kaki sepanjang bahu jalan yang
berkoridor (arcade). Di sini akan
ditemui banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk
kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu
(gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas
Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak
pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Sepanjang arcade, wisatawan selain bisa berbelanja
dengan tenang dalam kondisi cerah maupun hujan, juga bisa menikmati pengalaman
belanja yang menyenangkan saat menawar harga. Jika beruntung, bisa berkurang
sepertiga atau bahkan separohnya.
Jangan lupa untuk menyisakan sedikit tenaga.
Masih ada pasar tradisional yang harus dikunjungi. Di tempat yang dikenal
dengan Pasar Beringharjo, selain wisatawan bisa menjumpai barang-barang sejenis
yang dijual di sepanjang arcade,
pasar ini menyediakan beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Selain
produk lokal Jogja, juga tersedia produk daerah tetangga seperti batik
Pekalongan atau batik Solo. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar
mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif
batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan
harga yang lebih murah.
Berbelanja di kawasan Malioboro serta
Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para
penjual menaikkan harga dari biasanya bagi para wisatawan.
2.
Lesehan Malioboro
Saat matahari mulai terbenam, ketika
lampu-lampu jalan dan pertokoan mulai dinyalakan yang menambah indahnya suasana
Malioboro, satu persatu lapak lesehan mulai digelar. Makanan khas Jogja seperti
gudeg atau pecel lele bisa dinikmati disini selain masakan oriental ataupun sea food serta masakan Padang. Serta
hiburan lagu-lagu hits atau tembang kenangan oleh para pengamen jalanan ketika
bersantap.
Bagi para wisatawan yang ingin mencicipi
masakan di sepanjang jalan Malioboro, mintalah daftar harga dan pastikan pada
penjual, untuk menghindari naiknya harga secara tidak wajar.
Mengunjungi Yogyakarta yang dikenal dengan
"Museum Hidup Kebudayaan Jawa", terasa kurang lengkap tanpa mampir ke
jalan yang telah banyak menyimpan berbagai cerita sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia serta dipenuhi dengan beraneka cinderamata. Surga bagi penikmat
sejarah dan pemburu cinderamata.
4. SENDRATARI RAMAYANA
Kunjungan OB yang ke-4 setelah Malioboro adalah Pementasan
Sendratari Ramayana di Prambanan. Rombongan sampai di Prambanan kira-kira pukul
19.30 WIB. Sendratari Ramayana adalah seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan
dan sulit tertandingi. Pertunjukan ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa
berupa tari, drama dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk
menyuguhkan kisah Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam
bahasa Sanskerta.
Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan
ini serupa dengan yang terpahat pada Candi Prambanan. Seperti yang banyak
diceritakan, cerita Ramayana yang terpahat di candi Hindu tercantik mirip
dengan cerita dalam tradisi lisan di India. Jalan cerita yang panjang dan
menegangkan itu dirangkum dalam empat lakon atau babak, penculikan Sinta, misi
Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali
Rama-Sinta.
Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak
tari yang dibawakan oleh para penari yang rupawan dengan diiringi musik
gamelan. Anda diajak untuk benar-benar larut dalam cerita dan mencermati setiap
gerakan para penari untuk mengetahui jalan cerita. Tak ada dialog yang terucap
dari para penari, satu-satunya penutur adalah sinden yang menggambarkan jalan
cerita lewat lagu-lagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang khas.
Anda tak akan kecewa bila menikmati pertunjukan
sempurna ini sebab tak hanya tarian dan musik saja yang dipersiapkan.
Pencahayaan disiapkan sedemikian rupa sehingga tak hanya menjadi sinar yang
bisu, tetapi mampu menggambarkan kejadian tertentu dalam cerita. Begitu pula
riasan pada tiap penari, tak hanya mempercantik tetapi juga mampu menggambarkan
watak tokoh yang diperankan sehingga penonton dapat dengan mudah mengenali
meski tak ada dialog.
Anda juga tak hanya bisa menjumpai tarian saja,
tetapi juga adegan menarik seperti permainan bola api dan kelincahan penari
berakrobat. Permainan bola api yang menawan bisa dijumpai ketik Hanoman yang
semula akan dibakar hidup-hidup justru berhasil membakar kerajaan Alengkadiraja
milik Rahwana. Sementara akrobat bisa dijumpai ketika Hanoman berperang dengan
para pengikut Rahwana. Permainan api ketika Shinta hendak membakar diri juga
menarik untuk disaksikan.
Di Yogyakarta, terdapat dua tempat untuk
menyaksikan Sendratari Ramayana. Pertama, di Purawisata Yogyakarta yang
terletak di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur Kraton Yogyakarta. Di tempat
yang telah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2002
setelah mementaskan sendratari setiap hari tanpa pernah absen selama 25 tahun
tersebut, anda akan mendapatkan paket makan malam sekaligus melihat sendratari.
Tempat menonton lainnya adalah di Candi Prambanan, tempat cerita Ramayana yang
asli terpahat di relief candinya.
Cerita dimulai ketika Prabu Janaka mengadakan
sayembara untuk menentukan pendamping Dewi Shinta (puterinya) yang akhirnya
dimenangkan Rama Wijaya. Dilanjutkan dengan petualangan Rama, Shinta dan adik
lelaki Rama yang bernama Laksmana di Hutan Dandaka. Di hutan itulah mereka
bertemu Rahwana yang ingin memiliki Shinta karena dianggap sebagai jelmaan Dewi
Widowati, seorang wanita yang telah lama dicarinya.
Untuk menarik perhatian Shinta, Rahwana
mengubah seorang pengikutnya yang bernama Marica menjadi Kijang. Usaha itu
berhasil karena Shinta terpikat dan meminta Rama memburunya. Laksama mencari
Rama setelah lama tak kunjung kembali sementara Shinta ditinggalkan dan diberi
perlindungan berupa lingkaran sakti
berupa lingkaran magis agar Rahwana tak bisa menculik. Perlindungan itu
gagal karena Shinta berhasil diculik setelah Rahwana mengubah diri menjadi
sosok Brahmana Tua.
Dalam pengejaran akhirnya kijang dipanah Rama.
Ternyata kijang tersebut berubah menjadi Raksasa kalamarica, sehingga
terjadilah perang dengan Rama. Marica akhirnya terpanah oleh Rama. Leksamana
menyusul Rama, mengajak untuk segera menemui Shinta.
Perjalanan Rahwana membawa Shinta ke Alengka
terhambat oleh seekor burung Garuda ernama Jatiayu. Jatiayu ingin menolong
Shinta yang dikenalinya sebagai Putri Prabu Janaka sahabatnya, dalam peperangan
tersebut Jatayu dapat dilumpuhkan Rahwana. Karena Rama dan Leksmana tidak
menemukan Shinta di tempat semula, maka dicarinya Shinta. Dalam perjalanannya
bertemu dengan Jatayu dalam keadaan luka parah. Rama mengira Jatayu yang
menyulik Shinta. Jatayu akan dibunuh oleh Rama, namun dapat dicegah oleh
Leksmana. Setelah Jatayu menceritakan keadaan yang sebenarnya maka Jatayu mati
dengan iringan Rama dan Leksmana. Dalam kesedihannya datanglah seekor kera
putih bernama Hanuman yang diutus pamannya Sugriwa untuk mencari dua orang
satria yang dapat mengalahkan Subali kakaknya yang sangat sakti yang telah
merebut Dewi Tara kekasih Sugriwa.
Akhirnya Rama membantu Sugriwa mengalahkan Subali. Karena jasa baik Rama,
Sugriwa membantu Rama untuk mencari Dewi Shinta. Untuk itu Hanuman diutus
mencari dan menyelidiki Negeri Alengka.
Setelah sampai di Alengka dan seusai menghadap
Shinta, Hanuman segera ingin mengetahui kekuatan kerajaan Alengka. Maka
dirusaklah keindahan taman Alengka. Namun akhirnya Hanuman ditangkap oleh
Indrajid. Dan Hanuman mendapatkan hukuman yaitu dibakar hidup-hidup, namun
bukannya tubuh Hanuman yang terbakar tetapi api justru melahap kerajaan Alengka
hingga habis.
Di akhir cerita, Shinta berhasil direbut
kembali dari Rahwana oleh Hanoman, sosok kera yang lincah dan perkasa. Namun
ketika dibawa kembali, Rama justru tak mempercayai Shinta lagi dan
menganggapnya telah ternoda. Untuk membuktikan kesucian diri, Shinta diminta
membakar raganya. Kesucian Shinta terbukti karena raganya sedikit pun tidak
terbakar tetapi justru bertambah cantik. Rama pun akhirnya menerimanya kembali
sebagai istri.
Pukul 21.30 pertunjukkan
Sendratari Ramayana pun usai, penonton dengan ramai memberikan tepuk tngan yang
meriah sebagai wujud apresiasi karya sastra yang di pertunjukkan. Semua mata
merasa sangat menikmati pertunjukkan yang berlangsung selama dua jam itu.
Pemainpun memberi kesempatan bagi audience untuk mengambil atau sekadar berfoto
dengan mereka. Setelah itu rombongan kami menuju ke bus melanjutkan perjalanan
pulang. Namun di sela perjalanan pulang, kami singgah sebentar untuk berburu
oleh-oleh khas Yogyakarta bagi yang belum membeli atau bagi yang ingin membeli
lagi cinderamatanya. Setelah menempuh perlajanan kurang lebih 3 jam, kami tiba
di kampus dengan selamat.
PENUTUP
a.
Simpulan
Pelaksanaan Orientasi
Budaya ke Yogyakarta berjalan dengan baik. Dengan tiga buah bus, jumlah sekitar
160 mahasiswa, serta dosen pembimbing lapangan dan para pemandu bus untuk
mengunjungi empat objek yang cukup menarik dan menambah pengetahuan
diantaranya, Keraton Surakarta, Taman Pintar, Malioboro, dan Sendratari.
Berangkat dari pukul 06.30 sampai 01.00 cukup menguras tenaga dan pikiran. Kami
tidak hanya terkuras tenaagnya tetapi juga mendayagunakan pikiran atau mind dalam
menggali informasi serta mencatat hal-hal yang penting sebagai bahan pembuatan
laporan. Dengan adanya pelaksanaan Orientasi Budaya ini juga mampu melatih
mahasiswa untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan tempat baru mereka.
Banyak sekali ilmu yang kita dapat dari kegiatan KKL tersebut. Sehingga mampu
menerapkan atau mengaplikasikan ilmu yang sudah kita dapat di perkuliahan
dengan keadaan di lapangan.
b.
Saran
1.
Pelaksanaan Orientasi
Budaya cukup baik, namun perlu menjadi masukan saja. Lebih baik jikalau
pelaksanaan Orientasi Budaya dilakukan secara serempak dengan satu tujuan yang
sama dalam kunjungan. Hal itu akan menimbulkan rasa kebersamaan yang tinggi.
2.
Menanamkan kepada
mahasiswa bahwa Orientasi Budaya bukanlah ajang sekadar bersenang-senang
belaka, akan tetapi kita belajar, mencari sesuatu yang belum kita ketahui
sebelumnya. Informasi harus digali sebanyak-banyaknya sebagai bahan kajian
bidang studi.
3.
Diharapkan mahasiswa mampu
menerapkan ilmu yang telah mereka dapat dari Orientasi Budaya dalam berbagai
aspek sesuai dengan konteksnya.
LAMPIRAN
Gb. PINTU GERBANG UTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar