Sabtu, 15 September 2012

RESENSI GADIS PANTAI


GADIS PANTAI

Judul               : Gadis Pantai
Penerbit           : Lentera Dipantara
Penulis             : Pramudya Ananta Toer
Tebal               : 270 halaman
Kategori          : Novel Roman


Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada usia 81 tahun. Beliau termasuk pengarang produktif pada masa itu, buktinya meskipun berada dalam buih, beliau tetap menghasilkan karya. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam lebih dari 41 bahasa asing.
 Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara; tiga tahun dalam penjara colonial, satu tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Dalam masa-masa hidupnya di dalam bui, Pramoedya menghasilkan beberapa karya, diantaranya adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Setiap kali membaca tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, kita pasti selalu merasa kagum. Di setiap lembaran kita menemukan sesuatu. Bukan hanya bahasa saja yang menarik tetapi juga idealisme. Karya-karyanya terlalu banyak melontarkan humanisme. Pramoedya mengaku tema seperti itu dalam sebagian besar tulisannya banyak dipengaruhi oleh Multatuli, pengarang Max Havelaar yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Beliau juga belajar tentang humanisme daripada karya-karya John Steinbeck dan menelusuri ideologi daripada penulis agung Rusia, Mar Xim Gorky.

Melalui watak-watak tertentu, yang pastinya perwatakan dari golongan kelas bawah, Pramodya mewujudkan watak hero yang menentang berbagai situasi yang tidak manusiawi. Antaranya feodalisme priyayi Jawa, kolonialisme dan imperialisme. Watak-watak hero itu akan mengkritik, membidas dan mengutarakan pandangan-pandangan tertentu yang mewakili golongan masyarakat bawahan di Jawa. Pandangan tidak manusiawinya feodalisme Jawa dikritik dengan begitu luas oleh Pramoedya terutama dalam Gadis Pantai. Ia mengangkat kisah betapa rendahnya seorang rakyat kecil hanya sama dengan sebilah keris pembesar.
Inilah potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama beberapa abad bahkan sampai abad 20. Tokoh utamanya hanya disebut Gadis pantai, walau tanpa nama dia mewakili segolongan kaum wanita dari keluarga desa yang miskin dan tidak berpendidikan. Settingnya adalah kabupaten Rembang di pantai utara Jawa pada awal abad 20.

Suatu hari dia dikawini oleh seorang pribumi pejabat pemerintah kolonial yang tidak dia kenal. Apa yang dia tahu hanyalah dia harus taat dan hormat pada suaminya yang dipanggil bendoro (sebutan kehormatan untuk kaum feodal Jawa). Sampai menikah dan punya anakpun dia tidak memiliki hubungan hati ke hati dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Di rumah tempat tinggalnya ada bagian di mana dia tidak pernah menginjakkan kaki, bahkan masih ada ruangan yang baginya tetap asing selamanya. Di rumah kabupaten itu ada beberapa anak yang tidak ada ibunya karena mereka sudah dicerai sedangkan anak-anak itu diasuh pembantu.

Roman yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah roman yang indah dan mempesona. Pramodya berhasil membongkar dan menunjukkan kontradiksi negative praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Tentu saja, roman ini berhasil menusuk feodalisme jawa yang tepat pada jantungnya.
 Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Gadis Pantai pun dipastikan tak akan pernah ada jika pihak Universitas Australia( ANU) di Canberra tidak mendokumentasikannya dan lewat Savitri P. Scherer( mahasiswi) yang mengambil tesis. Novel yang bercover gambar seorang gadis pantai yang memakai kebaya hijau dan kain coklat, bersanggul dengan mimik yang polos serta gambar Bendoro yang di kawal ajudannya dengan payung memayungi Bendoro disertai back ground pantai dengan langit yang sangat cerah bercerita mengenai relasi antara mas nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja. Bagaimana kehidupan baru si gadis pantai selama menjadi isteri Bendoro?? Apakah si gadis pantai merasa bahagia atau malah sebaliknya?? Lalu siapakah Mardinah itu? Adakah hubungan dengan Bendoro? Kemudian mengapa si gadis pantai bisa di usir dari rumah gedong lalu dicerai oleh Bendoro? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kisah selanjutnya setelah gadis pantai di usir dari gedong, kemanakah gadis pantai pergi? Novel yang berjudul Gadis Pantai ini sangatlah menarik untuk dibaca, banyak pesan yang terkandung di dalamnya, perbedaan status sosial yang menjadi penyebabnya dalam waktu penjajahan.




































Tidak ada komentar:

Posting Komentar